Di antara banyaknya pahlawan perempuan, nama Raden Dewi Sartika tentu tak boleh dilewatkan. Jasanya bagi perjuangan perempuan sejak zaman penjajahan Belanda masih bisa dirasakan hingga kini.
Raden Dewi Sartika sendiri adalah satu dari deretan Pahlawan Nasional Indonesia dari Jawa Barat. Satu perjuangan yang terus dielu-elukan adalah kegigihannya dalam membangun sekolah untuk perempuan dari kalangan bawah. Dikutip dari buku bertajuk Dewi Sartika karya Rochiati Wiriaatmadja, ini adalah kisah perjalanan Raden Dewi Sartika.
Masa Kecil Raden Dewi Sartika
Contents
Lahir tanggal 4 Desember 1884, Dewi Sartika dibesarkan oleh kedua orangtuanya, yakni R. Rangga Somanagara yang merupakan Patih Bandung dan R.A. Rajapermas yang merupakan putri Bupati Bandung. Dewi Sartika adalah anak kedua dari lima bersaudara pasangan tersebut.
Kehidupan masa kecil Dewi Sartika dihabiskan di Jalan Kepatihan yang terletak di tengah Kota Bandung. Bangunan rumahnya besar, dengan konsep kediaman kaum priyayi. Bersama keempat saudaranya; R. Somamur, R. Junus, R. Entis, dan R. Sari Pamerat, mereka tumbuh besar di antara jabatan pemerintahan yang diemban orangtuanya.
Julukan kaum priyayi diberikan kepada keluarga Dewi Sartika bukan tanpa alasan. Istilah ini sendiri merujuk kepada orang-orang yang bekerja di area kepamongprajaan. Selain itu, priyayi juga ditujukan bagi para pekerja pemerintahan di berbagai bidang, seperti pendidikan, kepolisian, pengairan, pengadilan, dan kepolisian. Singkatnya, kaum priyayi punya kondisi pendidikan yang lebih tinggi dari masyarakat pada umumnya.
Masa Remaja Pasca Perpisahan Keluarga
Pertengahan bulan Juli tahun 1893 menandai datangnya masa kelam keluarga Dewi Sartika. Ayahnya dituduh jadi bagian peristiwa pemasangan dinamit. Akibatnya, keluarga pun terpecah belah sebab ibunya mengikuti sang ayah saat dibuang ke Ternate.
Semua harta benda keluarga tersebut disita oleh negara. Mereka juga dipaksa keluar dari Kepatihan. Sementara saudara-saudaranya masih menetap bersama beberapa keluarga di Bandung, Dewi Sartika dibawa oleh Raden Demang Suria Kartahadiningrat, bapak tuanya, ke Cicalengka.
Di rumah tersebut, Dewi Sartika tinggal bersama banyak gadis remaja seusianya. Meski begitu, ia mendapat perlakuan yang dingin, mengingat reputasi keluarganya yang sudah memburuk. Ia lebih dianggap sebagai pelayan, alih-alih putri sendiri. Dirinya mendapat ruang tidur di rumah bagian paling belakang.
Di tengah perasaan sedih yang menyelimuti, Dewi Sartika tak berlarut-larut memikirkannya sebab ia punya banyak tugas yang harus dilakukan. Ia belajar memasak, melayani orang tua makan, tata cara makan, menjahit, memasang meja, hingga menyulam. Hal ini bertujuan agar karakter priyayi mereka terbentuk dan bertahan.
Perjuangan Dewi Sartika Mendirikan Sekolah Istri
Pendidikan bagi perempuan pada masa pemerintahan Hindia Belanda masih terpaku pada peran gender. Dalam artian, pendidikan yang diberi pada para gadis remaja bertujuan untuk menyiapkan mereka sebagai istri dan ibu rumah tangga nantinya.
Menyaksikan hal ini, Dewi Sartika merasa prihatin. Terlebih, ia sudah pernah melihat bagaimana kesulitan ibunya saat sang ayah menjalani hukuman di pembuangan Ternate. Dari situlah muncul benih-benih semangat Dewi Sartika untuk memberdayakan kaum perempuan. Ia bahkan punya slogan yang berbunyi “Ari jadi awewe kudu segala bisa, ambeh bisa hirup!”, yang berarti “Menjadi perempuan harus memiliki banyak kecakapan agar bisa hidup”.
Baca Juga : Kehidupan, Perjuangan Dan Perlawanan Sisingamangaraja
Rencana Dewi Sartika untuk mendirikan sekolah khusus anak-anak perempuan awalnya tidak disetujui oleh Bupati Martanegara. Meski begitu, kegigihannya pada akhirnya membuahkan hasil. Tanggal 16 Januari 1904, Sekolah Istri resmi didirikan di Paseban Kabupaten Bandung. Dewi Sartika merintisnya dengan membagi sekolah menjadi dua kelas berisi dua puluh murid. Adapun tiga pengajar yang terlibat adalah Dewi Sartika, Ibu Purma, dan Ibu Uwit.
Berbeda dengan kondisi pendidikan yang saat itu hanya memprioritaskan keturunan tinggi, Dewi Sartika berkomitmen untuk memberi ilmu bagi siapa saja yang membutuhkan. Artinya, anak-anak yang tidak berasal dari kalangan priyayi pun berhak untuk mengenyam bangku pendidikan. Tentu saja, prinsip semacam ini tak semuanya mendukung. Dewi Sartika bahkan mendapat tentangan dari kelompok wanita priyayi.